TEMPO.CO – 15 jam yang lalu
Dia mencontohkan kasus-kasus tersebut antara lain pembubaran diskusi dan penganiayaan keluarga eks tahanan politik 1965 di Godean, kabupaten Sleman oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Pembubaran diskusi buku karya Irsyad Mandji dan penganiayaan peserta diskusi di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Juga pembubaran pengajian Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) cabang Yogyakarta di SMA Piri Yogyakarta oleh gabungan ormas seperti MMI, Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Gerakan Anti Maksiat (GAM), juga Front Jihad Indonesia (FJI). Kasus-kasus tersebut hingga saat ini tidak jelas proses penegakan hukumnya oleh polisi.
"Kasusnya berulang (dilakukan ormas) karena tidak ada pembinaan dari kepala daerah. Tidak ada political will dari Sultan (Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X)," kata Benny.
Ketua Tanfidiyah MMI Irfan Suryahadi Awwas membantah, jika tindakan pembubaran diskusi di LKIS merupakan bentuk pelanggaran HAM. Alasannya, diskusi yang mereka bubarkan adalah diskusi yang melecehkan Islam. Irfan menuding aktivis perempuan Irsyad Mandji mensosialisasikan soal lesbian yang dinilai menistakan Islam. "Harus dibuktikan dulu kalau itu pelanggaran HAM. Jangan menyebar fitnah. Nanti kami yang akan balik mengadukan mereka (Makaryo)," kata Irfan.
Meski demikian, Irfan tidak menolak jika berbagai elemen duduk bersama untuk membahas soal tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di wilayah DIY. "Tapi harus disamakan dulu presepsinya. Kami tidak setuju kalau presepsinya merujuk pada stigma anti agama," kata Irfan.
Sementara itu, Makaryo telah melaporkan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY. Komisi I atau komisi bidang hukum DPD menjanjikan akan mengundang Makaryo usai rapat pleno DPD pada 17 November lalu. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.
"Kami sedang membahas dan mendalami. Tidak bisa gegabah, karena melibatkan banyak orang," kata anggota Komisi Hukum DPD Hafidz Asrom.
Ada dua alat kelengkapan yang tengah membahasnya. Yaitu Komisi Hukum dan Panitia Akuntabilitas Publik. Hanya saja, Hafidz tak bisa menjanjikan kapan DPD akan memberikan rekomendasinya. "Kami harus mengkaji. Mana yang merupakan kewenangan DPD untuk menyelesaikan, mana yang bukan," kata Hafidz.
PITO AGUSTIN RUDIANA
TEMPO.CO, Yogyakarta--Masyarakat
Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) menilai mayoritas pelaku kekerasan
di wilayah DIY adalah organisasi masyarakat. Berdasarkan data Makaryo,
ada 11 kasus kekerasan yang dilakukan ormas dari total 18 kasus
kekerasan yang didata di wilayah DIY. Kasus-kasus tersebut oleh Makaryo
yang terdiri dari 33 elemen dikategorikan kasus pelanggaran hak asasi
manusia.
"Jadi mayoritas pelaku pelanggaran HAM di DIY
adalah organisasi masyarakat,"kata Koordinator Makaryo Benny Susanto
bertepatan dengan Hari HAM Sedunia 10 Desember kepada Tempo, Selasa
(10/12).Dia mencontohkan kasus-kasus tersebut antara lain pembubaran diskusi dan penganiayaan keluarga eks tahanan politik 1965 di Godean, kabupaten Sleman oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Pembubaran diskusi buku karya Irsyad Mandji dan penganiayaan peserta diskusi di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Juga pembubaran pengajian Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) cabang Yogyakarta di SMA Piri Yogyakarta oleh gabungan ormas seperti MMI, Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Gerakan Anti Maksiat (GAM), juga Front Jihad Indonesia (FJI). Kasus-kasus tersebut hingga saat ini tidak jelas proses penegakan hukumnya oleh polisi.
"Kasusnya berulang (dilakukan ormas) karena tidak ada pembinaan dari kepala daerah. Tidak ada political will dari Sultan (Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X)," kata Benny.
Ketua Tanfidiyah MMI Irfan Suryahadi Awwas membantah, jika tindakan pembubaran diskusi di LKIS merupakan bentuk pelanggaran HAM. Alasannya, diskusi yang mereka bubarkan adalah diskusi yang melecehkan Islam. Irfan menuding aktivis perempuan Irsyad Mandji mensosialisasikan soal lesbian yang dinilai menistakan Islam. "Harus dibuktikan dulu kalau itu pelanggaran HAM. Jangan menyebar fitnah. Nanti kami yang akan balik mengadukan mereka (Makaryo)," kata Irfan.
Meski demikian, Irfan tidak menolak jika berbagai elemen duduk bersama untuk membahas soal tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di wilayah DIY. "Tapi harus disamakan dulu presepsinya. Kami tidak setuju kalau presepsinya merujuk pada stigma anti agama," kata Irfan.
Sementara itu, Makaryo telah melaporkan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY. Komisi I atau komisi bidang hukum DPD menjanjikan akan mengundang Makaryo usai rapat pleno DPD pada 17 November lalu. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.
"Kami sedang membahas dan mendalami. Tidak bisa gegabah, karena melibatkan banyak orang," kata anggota Komisi Hukum DPD Hafidz Asrom.
Ada dua alat kelengkapan yang tengah membahasnya. Yaitu Komisi Hukum dan Panitia Akuntabilitas Publik. Hanya saja, Hafidz tak bisa menjanjikan kapan DPD akan memberikan rekomendasinya. "Kami harus mengkaji. Mana yang merupakan kewenangan DPD untuk menyelesaikan, mana yang bukan," kata Hafidz.
PITO AGUSTIN RUDIANA