Oleh Donny Afroni | GOAL.com – Jum, 20 Apr 2012 13:49 WIB
82
tahun. Rentang waktu itu tidak sedikit bagi manusia dalam menjalani
kehidupan. Di usia ke-82, tentunya kemampuan manusia akan makin menurun,
baik dari segi fisik maupun berpikir. Tidak sedikit manusia yang sudah
mencapai usia tersebut berubah menjadi pikun.
Kondisi berbeda
dialami sebuah organisasi. Dalam rentang puluhan tahun, sebuah
organisasi silih berganti diisi berbagai macam manusia. Di tangan
manusia itu lah sebuah organisasi bisa mencapai kejayaan, dan juga bisa
mengalami keterpurukan.
Perjalanan selama 82 tahun juga kini
dirasakan PSSI. Otoritas sepakbola nasional ini ketika awal berdirinya
ditujukan untuk mempersatukan bangsa. Setidaknya itu menjadi cita-cita
Ir Soeratin Sosrosoegondo, tokoh yang mendirikan PSSI.
Seiring
berjalannya waktu, dan perkembangan zaman, tujuan itu mulai diiringi
dengan usaha memprofesionalismekan dan mengindustrialisasikan sepakbola
di tanah air. Upaya itu bisa dilihat sejak 12 tahun terakhir.
Namun
yang terjadi justru sebaliknya. Penurunan prestasi dan manajemen PSSI
mengarah ke titik nadir. Tahun lalu, kebencian publik sepakbola
Indonesia terhadap kepemimpinan Nurdin Halid memuncak, dan akhirnya
ketua umum yang menjabat selama delapan tahun itu berhasil dilengserkan.
Publik
sepakbola nasional merasa geram dengan kepemimpinan Nurdin. Hal itu tak
lepas dari berbabagi keputusan kontroversial, serta status Nurdin yang
mengendalikan PSSI dari balik jeruji.
Djohar Arifin Husein pun
selanjutnya menjadi harapan bagi persepakbolaan nasional untuk
memperbaiki diri, baik dari segi prestasi mau pun manajemen, saat
terpilih menjadi ketua umum pada 9 Juli 2011 di kongres luar biasa (KLB)
di Solo yang penuh liku dan intrik dalam prosesnya. Djohar pun berusaha
mewujudkan itu di bawah kepemimpinannya.
“Semangat Soeratin ini
kami perlukan,” demikian pernyataan Djohar dalam sambutannya ketika
menggelar syukuran memperingati HUT ke-82 PSSI kemarin.
“Semoga
ilmu yang dimiliki bapak Soeratin bisa diturunkan kepada kita untuk
membangun PSSI yang lebih baik lagi ke depannya,” ujar ketua umum
PSSI-KPSI La Nyalla Mattalitti, ketika datang ke makam Soeratin
Namun
kenyataan yang terjadi sesungguhnya sama sekali tidak terlihat. Setelah
kompetisi terbagi dua untuk kedua kalinya dengan adanya Liga Prima
Indonesia (IPL) dan Superliga Indonesia (ISL), di era ini juga ada dua
organisasi. FIFA sudah alergi dengan adanya dua kompetisi, apalagi
dengan hadirnya dua organisasi serupa di satu negara. Kondisi ini pun
menjalar ke arah grassroot yang ikut terbelah dua.
Kekisruhan
berawal dengan penambahan jumlah peserta kompetisi di kasta tertinggi
menjadi 24 tim. Penambahan itu mungkin bisa saja diterima bila dilakukan
secara tepat. Tapi Djohar justru memasukkan enam tim, tiga diantaranya
bermasalah, dan tiga lainnya dikatrol dengan alasan yang tak logis dari
sebuah piramida kompetisi.
Terpecahnya kompetisi pun berimbas
kepada lahirnya sebuah organisasi tandingan yang juga menamakan diri
sebagai PSSI hasil kongres luar biasa (KLB) di Ancol pada 18 Maret 2012.
Masing-masing kubu merasa diri mereka yang paling berhak sebagai
pengelola sepakbola di tanah air.
Ironisnya, masyarakat tidak
lagi hanya disajikan permainan sepakbola di atas lapangan hijau, tapi
juga di meja hijau. Pembentukan klub-klub di kasta tertinggi membuat
yang tersakiti menempuh jalur hukum.
Selain kasus Persija Jakarta
yang masih berlangsung di pengadilan negeri Jakarta Timur, permasalahan
Persipura Jayapura juga mencuat ke permukaan. PSSI mengebiri hak
Persipura sebagai juara tahun lalu untuk tampil di Liga Champions Asia
(LCA) 2012, dan berusaha menggantikannya dengan klub yang menurut kepada
mereka.
Permasalahaan ini mendapat sorotan internasional, karena
Persipura mengajukan gugatan kepada pengadilan arbitrase olahraga
internasional (CAS). Tim Mutiara Hitam pun akhirnya berhak tampil di
play-off LCA menghadapi Adelaide United setelah CAS mengabulkan permohonoan tim Mutiara Hitam.
Situasi
ini berimbas kepada prestasi tim nasional. Pada final cabang sepakbola
SEA Games 2011, 21 November lalu, ketika Indonesia menjadi tuan rumah,
timnas U-23 hanya mampu meraih medali perak setelah dikalahkan Malaysia.
Di
ajang lebih tinggi, timnas senior mengalami hasil terburuk sepanjang
keikutsertaan di kualifikasi Piala Dunia. Sebuah rekor terpecahkan saat
Indonesia dibantai Bahrain sepuluh gol tanpa balas di laga terakhir Grup
E kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia. Genap sudah timnas tidak
mendapatkan satu angka pun di ajang tersebut. PSSI saat itu tidak
memanggil pemain yang tampil di ISL, dan hanya menurunkan pemain muda
dari kompetisi IPL.
Situasi makin diperparah dengan pernyataan
FIFA yang ingin melakukan investigasi terhadap hasil pertandingan. Tidak
hanya kemungkinan Bahrain bermain dalam upaya mereka lolos ke putaran
final, tapi alasan PSSI yang menurunkan tim lemah di laga menentukan
itu.
Keterpurukan tidak hanya berhenti sampai di situ. PSSI
kembali ditohok dengan kekalahan timnas U-21 dari Brunei Darussalam di
final turnamen Piala Hassanal Bolkiah. PSSI juga tidak menyertakan
pemain dari kompetisi ISL yang dianggap sebagai
breakaway league.
PSSI
pun makin diharapkan bisa bangkit tidak hanya dari segi prestasi, tapi
juga manajemen. Tentunya pecinta sepakbola nasional berharap agar diusia
ke-82 tahun PSSI makin membaik, bukan bertambah pikun dengan melupakan
apa yang menjadi cita-cita Soeratin.
“Saya ingin agar PSSI dapat
menjaga sepakbola Indonesia tetap bersatu, karena itu merupakan tujuan
dibentukan PSSI oleh eyang kami. Saat itu, beliau bisa mempersatukan
pemuda-pemudi Indonesia, kenapa sekarang tidak bisa,” kata Wuly
Soekartono, cucu Soeratin.