Kondisi berbeda dialami sebuah organisasi. Dalam rentang puluhan tahun, sebuah organisasi silih berganti diisi berbagai macam manusia. Di tangan manusia itu lah sebuah organisasi bisa mencapai kejayaan, dan juga bisa mengalami keterpurukan.
Perjalanan selama 82 tahun juga kini dirasakan PSSI. Otoritas sepakbola nasional ini ketika awal berdirinya ditujukan untuk mempersatukan bangsa. Setidaknya itu menjadi cita-cita Ir Soeratin Sosrosoegondo, tokoh yang mendirikan PSSI.
Seiring berjalannya waktu, dan perkembangan zaman, tujuan itu mulai diiringi dengan usaha memprofesionalismekan dan mengindustrialisasikan sepakbola di tanah air. Upaya itu bisa dilihat sejak 12 tahun terakhir.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Penurunan prestasi dan manajemen PSSI mengarah ke titik nadir. Tahun lalu, kebencian publik sepakbola Indonesia terhadap kepemimpinan Nurdin Halid memuncak, dan akhirnya ketua umum yang menjabat selama delapan tahun itu berhasil dilengserkan.
Publik sepakbola nasional merasa geram dengan kepemimpinan Nurdin. Hal itu tak lepas dari berbabagi keputusan kontroversial, serta status Nurdin yang mengendalikan PSSI dari balik jeruji.
Djohar Arifin Husein pun selanjutnya menjadi harapan bagi persepakbolaan nasional untuk memperbaiki diri, baik dari segi prestasi mau pun manajemen, saat terpilih menjadi ketua umum pada 9 Juli 2011 di kongres luar biasa (KLB) di Solo yang penuh liku dan intrik dalam prosesnya. Djohar pun berusaha mewujudkan itu di bawah kepemimpinannya.
“Semangat Soeratin ini kami perlukan,” demikian pernyataan Djohar dalam sambutannya ketika menggelar syukuran memperingati HUT ke-82 PSSI kemarin.
“Semoga ilmu yang dimiliki bapak Soeratin bisa diturunkan kepada kita untuk membangun PSSI yang lebih baik lagi ke depannya,” ujar ketua umum PSSI-KPSI La Nyalla Mattalitti, ketika datang ke makam Soeratin
Namun kenyataan yang terjadi sesungguhnya sama sekali tidak terlihat. Setelah kompetisi terbagi dua untuk kedua kalinya dengan adanya Liga Prima Indonesia (IPL) dan Superliga Indonesia (ISL), di era ini juga ada dua organisasi. FIFA sudah alergi dengan adanya dua kompetisi, apalagi dengan hadirnya dua organisasi serupa di satu negara. Kondisi ini pun menjalar ke arah grassroot yang ikut terbelah dua.
Kekisruhan berawal dengan penambahan jumlah peserta kompetisi di kasta tertinggi menjadi 24 tim. Penambahan itu mungkin bisa saja diterima bila dilakukan secara tepat. Tapi Djohar justru memasukkan enam tim, tiga diantaranya bermasalah, dan tiga lainnya dikatrol dengan alasan yang tak logis dari sebuah piramida kompetisi.
Terpecahnya kompetisi pun berimbas kepada lahirnya sebuah organisasi tandingan yang juga menamakan diri sebagai PSSI hasil kongres luar biasa (KLB) di Ancol pada 18 Maret 2012. Masing-masing kubu merasa diri mereka yang paling berhak sebagai pengelola sepakbola di tanah air.
Ironisnya, masyarakat tidak lagi hanya disajikan permainan sepakbola di atas lapangan hijau, tapi juga di meja hijau. Pembentukan klub-klub di kasta tertinggi membuat yang tersakiti menempuh jalur hukum.
Selain kasus Persija Jakarta yang masih berlangsung di pengadilan negeri Jakarta Timur, permasalahan Persipura Jayapura juga mencuat ke permukaan. PSSI mengebiri hak Persipura sebagai juara tahun lalu untuk tampil di Liga Champions Asia (LCA) 2012, dan berusaha menggantikannya dengan klub yang menurut kepada mereka.
Permasalahaan ini mendapat sorotan internasional, karena Persipura mengajukan gugatan kepada pengadilan arbitrase olahraga internasional (CAS). Tim Mutiara Hitam pun akhirnya berhak tampil di play-off LCA menghadapi Adelaide United setelah CAS mengabulkan permohonoan tim Mutiara Hitam.
Situasi ini berimbas kepada prestasi tim nasional. Pada final cabang sepakbola SEA Games 2011, 21 November lalu, ketika Indonesia menjadi tuan rumah, timnas U-23 hanya mampu meraih medali perak setelah dikalahkan Malaysia.
Di ajang lebih tinggi, timnas senior mengalami hasil terburuk sepanjang keikutsertaan di kualifikasi Piala Dunia. Sebuah rekor terpecahkan saat Indonesia dibantai Bahrain sepuluh gol tanpa balas di laga terakhir Grup E kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia. Genap sudah timnas tidak mendapatkan satu angka pun di ajang tersebut. PSSI saat itu tidak memanggil pemain yang tampil di ISL, dan hanya menurunkan pemain muda dari kompetisi IPL.
Situasi makin diperparah dengan pernyataan FIFA yang ingin melakukan investigasi terhadap hasil pertandingan. Tidak hanya kemungkinan Bahrain bermain dalam upaya mereka lolos ke putaran final, tapi alasan PSSI yang menurunkan tim lemah di laga menentukan itu.
Keterpurukan tidak hanya berhenti sampai di situ. PSSI kembali ditohok dengan kekalahan timnas U-21 dari Brunei Darussalam di final turnamen Piala Hassanal Bolkiah. PSSI juga tidak menyertakan pemain dari kompetisi ISL yang dianggap sebagai breakaway league.
PSSI pun makin diharapkan bisa bangkit tidak hanya dari segi prestasi, tapi juga manajemen. Tentunya pecinta sepakbola nasional berharap agar diusia ke-82 tahun PSSI makin membaik, bukan bertambah pikun dengan melupakan apa yang menjadi cita-cita Soeratin.
“Saya ingin agar PSSI dapat menjaga sepakbola Indonesia tetap bersatu, karena itu merupakan tujuan dibentukan PSSI oleh eyang kami. Saat itu, beliau bisa mempersatukan pemuda-pemudi Indonesia, kenapa sekarang tidak bisa,” kata Wuly Soekartono, cucu Soeratin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar