Kepalanya
botak mulus, badan tegap lurus. Dalam setelan formal tapi santai, dia
memegang gitar akustik dan siap melantunkan sebuah lagu. Hadirin
mendadak diam. Dan Andrew N Weintraub pun mulai berdendang.
“Kering sudah rasa air mataku.. Terlalu banyak sudah yang tertumpah..” Belum selesai bait pertama lagunya, seisi ruangan sudah dipenuhi gelak tawa. Andrew memang mendendangkan “Gelandangan” karya Rhoma Irama. “Yang ini berbeda, versi unplugged,” katanya.
Andrew bukanlah sembarang penyanyi dangdut. Dia seorang peneliti musik dari University of Pittsburgh yang telah bertahun-tahun mengkaji musik-musik Indonesia. “Awalnya saya datang ke Indonesia untuk mempelajari musik Sunda”, tuturnya di sebuah diskusi buku di Serambi Salihara (19/4).
Perlahan tapi pasti, Andrew mulai tertarik dengan dangdut. Sayangnya, dia harus mengurungkan niatnya meneliti dangdut karena tidak diperbolehkan dosennya, mengingat dangdut termasuk ke dalam musik populer. Barulah setelah ia mendapatkan gelar profesor, pintu itu terbuka lebar. Tak tanggung-tanggung, selain melakukan penelitian dia pun turut menyemarakkan khazanah musik dangdut Tanah Air dan dunia dengan membuat grup dangdut Dangdut Cowboys.
Bersama grup tersebut, Andrew mulai dikenal masyarakat Indonesia. Beberapa kali dia tampil berduet dengan para penyanyi top Indonesia, seperti Rhoma Irama dan Rita Tila. Dangdut Cowboys menayangkan video penampilan mereka di YouTube lewat channel “dangdooter”.
Buku kajian Andrew tentang dangdut terbit di tahun 2010 dengan judul Dangdut Stories. Namun, karena ditulis dalam bahasa Inggris, buku ini belum bisa dinikmati secara luas oleh masyarakat Indonesia. Terjemahan Dangdut Stories dalam bahasa Indonesia terbit tahun ini dengan judul Dangdut: Musik, Media, Identitas dan Budaya Indonesia.
Buku ini terasa lengkap karena sudut pandang yang diambil, dengan melihat dangdut sebagai musik rakyat yang tidak dapat lepas dari konteks masyarakat penikmatnya.
Kedekatan musik dangdut dengan masyarakat akar rumput memang tidak dapat diingkari. Lirik lagu dangdut sering kali bukan hanya mengangkat tema cinta, tapi juga isu-isu sosial yang justru dihindari jenis musik lain. Adalah musik dangdut yang kerap menyentuh masalah kemiskinan, pelacuran, gelandangan, hingga kehancuran keluarga.
Pengamat musik Denny Sakriem, yang membahas buku Andrew di diskusi Salihara, menekankan hal tersebut. Baginya, musik dangdut begitu nyata dan “telanjang”, seperti kata-kata “Senyummu merobek kantongku” atau “Kutunggu jandamu” yang sering terdapat di belakang truk-truk.
Ayu Utami, moderator acara, menunjukkan sisi kontradiktif antara musikalitas dangdut dengan realita penghayatannya. Menurutnya, lirik-lirik dangdut yang cenderung melankolis justru dinyanyikan dengan musik yang “berlebihan”, bahkan hampir selalu berhasil mengajak pendengarnya bergoyang bersama.
Mungkin karena melihat keunikan tersebut, Andrew memutuskan membedah musik dangdut dari perspektif etnomusikologi. Dia menganalisis gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu untuk mengartikulasikan pergulatan simbolis meraih makna di ranah kebudayaan. Sudut pandang ini juga yang lantas “memaksa” penulis bukan hanya mengamati musikalitas lagu-lagu dangdut, tetapi juga perubahan-perubahan historis yang terjadi, praktik pertunjukan, dan makna-makna sosial.
Buku ini tentu sebuah sumbangan penting bagi diskursus etnomusikologi di Indonesia, yang bukan saja bermanfaat untuk melihat yang di belakang, tetapi juga untuk mengkonstruksi yang di depan. Masyarakat Indonesia sangat perlu mengapresiasi Andrew atas apa yang telah dia kerjakan.
“Kering sudah rasa air mataku.. Terlalu banyak sudah yang tertumpah..” Belum selesai bait pertama lagunya, seisi ruangan sudah dipenuhi gelak tawa. Andrew memang mendendangkan “Gelandangan” karya Rhoma Irama. “Yang ini berbeda, versi unplugged,” katanya.
Andrew bukanlah sembarang penyanyi dangdut. Dia seorang peneliti musik dari University of Pittsburgh yang telah bertahun-tahun mengkaji musik-musik Indonesia. “Awalnya saya datang ke Indonesia untuk mempelajari musik Sunda”, tuturnya di sebuah diskusi buku di Serambi Salihara (19/4).
Perlahan tapi pasti, Andrew mulai tertarik dengan dangdut. Sayangnya, dia harus mengurungkan niatnya meneliti dangdut karena tidak diperbolehkan dosennya, mengingat dangdut termasuk ke dalam musik populer. Barulah setelah ia mendapatkan gelar profesor, pintu itu terbuka lebar. Tak tanggung-tanggung, selain melakukan penelitian dia pun turut menyemarakkan khazanah musik dangdut Tanah Air dan dunia dengan membuat grup dangdut Dangdut Cowboys.
Bersama grup tersebut, Andrew mulai dikenal masyarakat Indonesia. Beberapa kali dia tampil berduet dengan para penyanyi top Indonesia, seperti Rhoma Irama dan Rita Tila. Dangdut Cowboys menayangkan video penampilan mereka di YouTube lewat channel “dangdooter”.
Buku kajian Andrew tentang dangdut terbit di tahun 2010 dengan judul Dangdut Stories. Namun, karena ditulis dalam bahasa Inggris, buku ini belum bisa dinikmati secara luas oleh masyarakat Indonesia. Terjemahan Dangdut Stories dalam bahasa Indonesia terbit tahun ini dengan judul Dangdut: Musik, Media, Identitas dan Budaya Indonesia.
Buku ini terasa lengkap karena sudut pandang yang diambil, dengan melihat dangdut sebagai musik rakyat yang tidak dapat lepas dari konteks masyarakat penikmatnya.
Kedekatan musik dangdut dengan masyarakat akar rumput memang tidak dapat diingkari. Lirik lagu dangdut sering kali bukan hanya mengangkat tema cinta, tapi juga isu-isu sosial yang justru dihindari jenis musik lain. Adalah musik dangdut yang kerap menyentuh masalah kemiskinan, pelacuran, gelandangan, hingga kehancuran keluarga.
Pengamat musik Denny Sakriem, yang membahas buku Andrew di diskusi Salihara, menekankan hal tersebut. Baginya, musik dangdut begitu nyata dan “telanjang”, seperti kata-kata “Senyummu merobek kantongku” atau “Kutunggu jandamu” yang sering terdapat di belakang truk-truk.
Ayu Utami, moderator acara, menunjukkan sisi kontradiktif antara musikalitas dangdut dengan realita penghayatannya. Menurutnya, lirik-lirik dangdut yang cenderung melankolis justru dinyanyikan dengan musik yang “berlebihan”, bahkan hampir selalu berhasil mengajak pendengarnya bergoyang bersama.
Mungkin karena melihat keunikan tersebut, Andrew memutuskan membedah musik dangdut dari perspektif etnomusikologi. Dia menganalisis gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu untuk mengartikulasikan pergulatan simbolis meraih makna di ranah kebudayaan. Sudut pandang ini juga yang lantas “memaksa” penulis bukan hanya mengamati musikalitas lagu-lagu dangdut, tetapi juga perubahan-perubahan historis yang terjadi, praktik pertunjukan, dan makna-makna sosial.
Buku ini tentu sebuah sumbangan penting bagi diskursus etnomusikologi di Indonesia, yang bukan saja bermanfaat untuk melihat yang di belakang, tetapi juga untuk mengkonstruksi yang di depan. Masyarakat Indonesia sangat perlu mengapresiasi Andrew atas apa yang telah dia kerjakan.