Pemerintah, dan semua pihak yang berorientasi developmentalisme, sering
mengimbau kita untuk mengurangi dampak negatif pembangunan serta menjaga
keseimbangan dengan alam. Tetapi cara berpikir di belakang ajakan itu
tidak cukup.
Pertama, mengurangi dampak negatif itu terlambat.
Sebab, sudah jelas Bumi sudah sangat rusak. Kemampuan planet ini untuk
mendukung kehidupan sudah sangat berkurang selama 250 tahun terakhir —
terlebih lagi dalam 60 tahun terakhir (sesudah Perang Dunia II).
Dan
kecenderungan ini masih berlanjut. Jadi, selain mengurangi dampak
negatif pada bumi, kita juga perlu dan dapat menimbulkan dampak positif
padanya, membantunya memulihkan diri.
Membantu Bumi memulihkan
diri kerap dilupakan orang, sebab kita merasa seolah hanya kita yang
tergantung pada alam. Padahal sebenarnya alam juga tergantung kepada
manusia, spesies tunggal yang paling dominan.
Selain itu
terdapat ideologi pembangunan yang salah. Ideologi ini sering
menggambarkan “tiga pilar pembangunan” dalam bentuk tiga lingkaran yang
saling tumpang-tindih: lingkungan, ekonomi, dan sosial. Salahnya? Dua
yang terakhir itu tidak mungkin berada di luar lingkungan, melainkan di
dalamnya. Segala hal terjadi di dalam, bukan di sebelah lingkungan.
Pembangunan
bukan harus harmonis dengan lingkungan di sebelahnya, melainkan harus
berada di dalam batas-batasnya, bahkan bertumpu dan bergantung
sepenuhnya pada lingkungan. Pembangunan yang lestari (sustainable
development) bukanlah yang “harmonis” dan “berdampak negatif” minimal,
melainkan yang membantu memulihkan dan melestarikan sumber daya alam
yang terbatas.
Karena itu “mengurangi, menggunakan kembali,
mendaur-ulang” (reduce, reuse, recycle) saja tidak cukup, apabila yang
dikonsumsi adalah bahan dan enegrgi yang tidak terbarukan. Semua itu
hanya memperpanjang ketidaklestarian, menunda bencana, serta tidak
mengarah kepada kelestarian.
Kelestarian ideal adalah ketika
semua yang kita gunakan adalah terbarukan, dapat kembali ke alam dan
diserap sepenuhnya ke dalam proses metabolisme alam lagi.
Mineral,
logam dan memang secara teoretis tidak akan habis, karena seberapa pun
kita menggalinya dari alam, ia akan kembali ke alam dalam satu atau lain
bentuk, selama tidak dengan sengaja dibuang ke ruang angkasa. Tetapi
nilai guna mereka akan terus berkurang, karena akan tergerus oleh proses
perubahan bentuknya. Masih diperlukan waktu lama untuk menemukan cara
“menangkap kembali” semua sampah mineral, logam seutuhnya tanpa juga
menggunakan mineral, logam dan energi segar.
Jalan yang sudah
tampak dan terus dikembangkan adalah melakukan substitusi: mengganti
bahan konsumsi, dan masukan bagi proses produksi, dengan yang
terbarukan. Misalnya menggunakan daun pisang sebagai alas makan.
Sederhana ya?
Oleh Marco Kusumawijaya | Newsroom Blog
1 komentar:
Thank you for sharing
I really like
Posting Komentar