Foto: Robin Hartanto
Penguasaan lahan publik oleh suatu pihak
tertentu sudah jadi pemandangan sehari-hari. Parahnya, kelakuan ini
tidak mutlak milik pribadi atau swasta, tapi juga oleh institusi negara.
Di
Jakarta, badan jalan — yang merupakan lahan publik — berubah jadi lahan
parkir oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian
Pekerjaan Umum.
Rakyat
tak kuasa, hanya bisa mengalah. Mereka pasrah jalan-jalan milik umum
sudah dipatok, seperti terjadi pada zaman penjajahan. Tidak boleh dan
tidak bisa melintas.
Perilaku di seputar kantor pemerintahan ini
tampaknya ditiru dengan baik oleh masyarakat pemilik modal di kawasan
tempat tinggal mewah, seperti di kawasan Kebayoran Baru.
Lazim
kita temui, jalan-jalan di sekitar tempat tinggal pemilik modal besar
dipagari dengan portal besi, seolah jalan umum itu adalah bagian dari
pekarangan rumah. Mereka mudah saja melakukan itu, dan membayar satuan
pengamanan untuk menjaga.
Di
lihat dari sisi ekonomi, jalan yang dikuasai itu berstatus barang
publik. Artinya, Siapa pun berhak menggunakan, karena menjadi fasilitas
bagi masyarakat umum. Jalan itu sebenarnya tidak gratis, karena dibayar
oleh warga secara tidak langsung (melalui pajak).
Barang publik
dikelola dan dikuasakan kepada pemerintah untuk mengelolanya. Sesuai
kodratnya, sifat barang publik adalah “non excludable” atau tidak
eksklusif. Tidak ada orang yang berhak menghalangi orang lain untuk
menggunakan manfaatnya.
Karena itu, tidak ada pula yang boleh menguasainya untuk kepentingan sendiri.
Selain
itu, sifatnya pun “non-rivalry” alias bisa dimanfaatkan secara bersama
tanpa saling menghilangkan manfaat yang didapat masing-masing pengguna.
Jika ada satu pihak memanfaatkan jalan itu — dan karenanya mengurangi
manfaat yang diterima pihak lain (bahkan hilang) — maka secara ekonomi
ini merupakan pelanggaran.
Bayangkan, betapa besarnya pemasukan negara seandainya lahan-lahan yang dikuasai secara sepihak itu harus disewa.
Karena
itu, penguasaan jalan utama, bahu jalan, atau trotoar oleh suatu pihak —
atau ironisnya kantor pemerintahan — tidak bisa dibenarkan. Barang
publik kehilangan maknanya, karena sudah menjadi barang pribadi.
Negara harus memungut pajak atas lahan tersebut.
Pihak
yang menguasai barang publik tanpa membayar pajak sungguh jahat. Mereka
mengambil manfaat secara sepihak, padahal lahan publik dibiayai oleh
masyarakat. Sungguh tragis pelanggaran seperti ini dibiarkan dan terjadi
pula di sekitar kantor pemerintah.
Apa dasar tindakan Markas
Besar Kepolisian RI mencaplok lahan umum? Mungkin saja Undang-Undang
Jalan Tahun 2004 yang menyebutkan, penguasaan jalan ada pada negara dan
dikuasakan kepada pemerintah.
Mungkin saja UU ini dipahami secara terang-terangan — karena dianggap menguasai, jadi berhak ada pematokan jalan.
Tetapi
bukankah ada aturan hukum lain, misalnya Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi? Di situ disebutkan, definisi korupsi adalah
perbuatan melawan hukum, bermaksud memperkaya diri sendiri atau orang
lain, dan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Kalau
ini yang dijadikan landasan, bahu jalan dan trotoar di sekitar kantor
pemerintah semacam Kementerian PU harus diselidiki. Sebab, fasilitas
publik itu memberikan manfaat kepada pihak yang menyewakannya kepada
para pedagang dan lahan parkir. Merugikan keuangan negara? Tentu.
Kemudian
penutupan jalan dengan portal oleh swasta, tentu bisa juga masuk
kategori korupsi seandainya mendapat restu dari institusi pemerintahan.
Misalnya, mendapat pengamanan resmi dari kepolisian atau izin dari
pemerintahan di tingkat paling kecil semacam kelurahan.
Inilah
korupsi ruang publik yang secara nyata terjdi di depan mata, seolah
ingin menyimbolkan betapa (tak) berkuasanya pemerintah dan betapa
berkuasanya para pemilik modal besar di kawasan perumahan mewah.
Bahkan jatah rakyat pun dirampas. Mengenaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar