Gadis pandu. Foto: bbc.co.uk
TEMPO Interaktif, Menggunakan selimut putih, Anna, 17 tahun, menyembunyikan seluruh tubuhnya di atas salju yang tengah menutupi tanah Warsawa, Polandia, pada 1939. Cara ini ditempuh gadis muda itu agar bisa melewati tiga garis depan peperangan demi bertemu dengan ayahnya.
Sang ayah melarikan diri dari Polandia pada 1939, saat negara itu berusaha mempertahankan diri dari pendudukan Nazi. Saat itu Anna, ibu dan saudara perempuannya, masih tinggal di Polandia. Ketika mendengar kabar sang ayah sakit, pihak keluarga meminta Anna menemui ayahnya.
Anna dipercaya bisa menembus garis depan perang karena sehari-hari bekerja sebagai gadis pandu. Dan memang dengan keahliannya sebagai pandu, Anna akhirnya berhasil melewati garis depan ketiga yang dekat dengan penjagaan tentara Jerman untuk menemui sang ayah. “Saya dapat mendengar mereka (tentara Jerman) bernapas. Jika saya tidak mendapat pelajaran di pandu sebagai penguntit, saya tak akan pernah sampai ke sana,” ujarnya, mengenang.
Tidak hanya Anna. Ketika perang berkecamuk di Eropa, ratusan ribu gadis muda juga memilih menjadi pandu ketimbang pergi ke sekolah. Mereka tergerak membantu setelah terjadi banyak tragedi pembunuhan.
Margaret Collins, misalnya. Dia satu dari 750 ribu pemandu di Inggris saat perang berlangsung. Margaret menjadi pandu di Maidstone, Kent, pada 1939. Kendati masih muda, Margaret paham benar situasi saat itu. Karena itu, dia membantu di balai kota, tempat ia mendengar pengumuman perang.
“Saya membantu langsung pengungsi,” kisahnya. Ia dan rekannya mengubah rumah tua yang kosong di sepanjang London Road menjadi tempat pengungsian ibu-ibu hamil. Dia juga mengungkapkan sulitnya ke sekolah karena sewaktu-waktu terjadi serangan udara dan bom.
Kisah gadis pandu juga diungkapkan oleh Betty Wiggins-Jones, 87 tahun. Betty bergabung menjadi pandu setelah tahun 1931. Sesaat sebelum perang meletus pada 1939, Betty berkunjung ke kamp bersama putri kerajaan di Harewood House, Ledds.
Tugasnya tak hanya itu. Ketika hari Minggu tiba, ia mewakili Inggris membawa panji kerajaan saat berlangsung parade gereja.
Berbagai kisah gadis pandu ini dirangkum dalam sebuah buku berjudul How Girl Guides Won the War oleh Janie Hampton. “Gadis pandu Polandia luar biasa,” kata Hampton. “Mereka bagian dari perlawanan, menjadi kurir, menyelundupkan makanan ke penjara perang, membawa keluar dan melindungi anak-anak Yahudi. Banyak di antara pemandu keturunan Yahudi,” ujarnya.
Tak sedikit pandu yang berjalan melewati got-got di Warsawa demi misi mereka. “Prinsip mereka benar-benar luar biasa: tidak mati sampai kematian menjemput. Bahkan saat berada di kamp konsentrasi, mereka tidak menyerah walaupun tahu akan mati,” ujar Hampton.
Agar sukses dalam tugas, seorang gadis harus mengikuti pelatihan sebelum menjadi pandu. Salah satunya pelatihan pengiriman atau penerima sinyal. Pelatihan telegraf mengharuskan mereka mengirim pesan dalam bentuk kode Morse dengan kecepatan 30 huruf per menit. Latihan ini dimaksudkan agar mereka punya keahlian dasar dalam banyak bidang yang bermanfaat saat negara membutuhkannya.
BBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar