Senin, 16 April 2012

Pendiri UKM Pankreas Politeknik Negeri Jakarta 0inShare Share Trafficking Atlit. Bobroknya Kehidupan Olahraga Indonesia

Saat kita melihat Indonesia Juara Sea Games di Palembang kemarin, ada sedikit rasa bangga menyelinap dihati.  Namun setelah melihat kondisi sesungguhnya atlit di Indonesia, saya sangat sedih sekali.
Permasalahannya ialah bukan karena kurangnya Pembinaan Usia Dini, karena Pembinaan Usia Dini di tingkat Provinsi sudah cukup baik karena Pengurus Cabang tingkat Provinsi biasanya dikelola oleh orang yang mencintai Olahraga, namun ditingkat kabupaten / Kota sangat marak sekali  trafficking Atlit.  Malah ada Pameo, yang mengatakan bahwa Pemda/Pemkot baru mengurus olahraga 1 tahun sebelum diselenggarakannya PORDA (Pekan Olahraga Daerah) dengan ancang-ancang pembibitan atlit dan rencana transfer atlit.
Mengapa muncul Trafficking Atlit :
1. Para Pengurus Cabang Olahraga di Tingkat Kabupaten/Kota malas melakukan pembibitan usia dini dan memilih membeli atlit yang sudah Jadi.
2. Para Pengurus Cabang Olahraga di Tingkat Kabupaten/Kota yang terpenting ialah mendapatkan komisi dari Trafficking Atlit, misalnya pembelian Atlit dari Papua untuk membela Kabupaten/Kota pada event Pekan Olahraga Daerah, 1 orang atlet 150 juta, biasanya pengurus mendapatkan komisi 30%-nya.
3. Para Pengurus Cabang di Kabupaten / Kota mendapatkan keuntungan dengan mengirimkan Atlit pada pertandingan Usia Dini di tingkat Provinsi, dimana sesungguhnya mereka tidak mengirim atlit sama sekali, namun tetap memberikan laporan palsu seolah-olah mengirimkan atlit, dan dana yang mereka terima dari KONI Kabupaten digunakan untuk kepentingan pribadi.
4. Para Pengurus Cabang di Kabupaten / Kota biasanya juga termasuk KONI kabupaten / kota biasanya akan melengserkan pelatih atau pimpinan cabang olahraga yang menyukai pembinaan usia dini karena mereka akan terganggu income-nya.
5. Di setiap Kabupaten / Kota banyak sekali orang yang berprofesi sebagai Calo Proposal Olahraga, mereka ini pengurus olahraga di semua cabang olahraga Sepak Bola, Kadang di Dayung , Kadang di Atletik, mereka ini pintar bernegoisasi, menggunakan kekuatan premanisme dan biasanya memiliki kedekatan dengan pemimpin daerah, dan mereka dengan manisnya menipu pemimpin daerah dengan memberikan laporan palsu bahwa mereka telah melakukan pembinaan usia dini bagi calon atlit daerah.  Padahal pekerjaan mereka ialah membuat proposal permohonan untuk mengirim atlit usia dini ke event-event tingkat provinsi dan laporan palsu, kemudian dananya digunakan untuk kepentingan pribadi.
Dan lucunya malah ada di salah satu Kabupaten yang memiliki mantan Atlit peraih mendali emas PON, Emas di Sea Games, dan Perunggu di Asian Games hanya di cabut status kepelatihannya dan tidak dijadikan pelatih Cabang Olahraga Setempat.
Hanya di Indonesia pernah terjadi Kabupaten/Kota membeli atlitnya sendiri yang pindah ke daerah lain karena potensinya tidak dianggap di daerah asalnya.  Ceritanya begini, ketika ada salah satu atlit Potensial mau direkomendasikan pelatihnya untuk diikut sertakan dalam event-event tingkat provinsi yang dibiayai Kabupaten/Kota, ternyata seluruh pengurus menolaknya dengan alasan masih memiliki Atlit Utama, dengan terpaksa Pelatihnya mengirim ke Daerah lain yang mau mendidiknya, setelah Daerah lain yang membina Atlit tersebut mulai mendapatkan manfaat atas atlit tersebut, kabupaten / Kota asal atlit tersebut ingin menariknya kembali. Setelah negoisasi disepakati sejumlah dana untuk menarik Atlit tersebut ke Kabupaten / Kota asalnya.
Solusi :
1. Membersihkan pengurus KONI Kabupaten / Kota dari orang yang tidak mencintai dan tidak memiliki idealisme olahraga
2. Membersihkan pengurus cabang yang koruptif mengganti dengan yang baru.
3. Adanya Pengawasan melekat atas laporan-laporan yang diterima KONI.
4. Adanya Evaluasi Bulanan dan Tahun yang memantau pembibitan olahraga.
5. KONI membuat Standar Operating Procedure yang disepakati bersama.
Hal ini mudah dilakukan karena biasanya pengurus Cabang masih dipegang pejabat pemda setempat, sehingga tekanan kepala daerah agar pengurus cabang mengelola sesuai kode etik dan SOP dapat berjalan dengan semestinya.
Bila 5 hal tersebut dijalankan maka, biaya yang dikeluarkan Kabupaten/Kota untuk Trafficking Atlit akan berkurang dan dapat digunakan untuk hal-hal yang lain,  misalnya untuk kesejahteraan para atlit  dan Pelatih.  Karena paling sulit setelah PORDA ialah mempertahankan kondisi Atlit untuk tetap terjaga dan terus mengikuti kompetisi lanjutannya bukan hanya sekedar PORDA, namun atlit itu harus dapat lulus seleksi Provinsi untuk mengikuti PON , Sea Games dan Asian Games.
Pada titik ini para pemimpin daerah  terutama Pimpinan Kabupaten dan Kota merasa cukup dan tidak melanjutkan bimbingannya pada atlit-atlit ini sampai tingkat yang lebih tinggi.  Karena kadang hasil PORDA sudah cukup untuk Kepentingan Pemilu para Pimpinan kabupaten dan Kota.
Saya himbau pada pa Bupati dan Walikota untuk lebih memperhatikan atlitnya agar tidak disalah gunakan dana Pemerintah Daerah untuk kepentingan para Calo Olahraga dan Pimpinan Pengurus Cabang dan Koni yang tidak kompeten.  Karena jelas lebih hemat membina, sebagai contoh salah satu cerita di Kabupaten, untuk membeli 1 regu atlit suatu cabang terdiri dari 6 orang diperlukan biaya 1,2 Milyar,  Untuk menghentikan hal ini sang pelatih menjamin 8 emas dengan grup binaan sendiri.  Hasilnya Juara umum dengan 8 emas tanpa biaya sepeserpun pemda hanya diganti seluruh tim olahraga masuk kerja di BUMD pemerintah.  Berarti kalau Pemda Ikhlas menyerahkan 600 juta saja ke tim ini untuk pembinaan selama 4 tahun lebih baik hasilnya ketimbang membeli.
Untuk para Bupati dan Walikota , ingatlah kata-kata ini : “Membina lebih baik daripada Membeli”
Salam Olahraga

Sumber :  http://olahraga.kompasiana.com

Tidak ada komentar: