Saat kita melihat Indonesia Juara Sea Games di Palembang kemarin, ada
sedikit rasa bangga menyelinap dihati. Namun setelah melihat kondisi
sesungguhnya atlit di Indonesia, saya sangat sedih sekali.
Permasalahannya ialah bukan karena kurangnya Pembinaan Usia Dini, karena
Pembinaan Usia Dini di tingkat Provinsi sudah cukup baik karena
Pengurus Cabang tingkat Provinsi biasanya dikelola oleh orang yang
mencintai Olahraga, namun ditingkat kabupaten / Kota sangat marak
sekali trafficking Atlit. Malah ada Pameo, yang mengatakan bahwa
Pemda/Pemkot baru mengurus olahraga 1 tahun sebelum diselenggarakannya
PORDA (Pekan Olahraga Daerah) dengan ancang-ancang pembibitan atlit dan
rencana transfer atlit.
Mengapa muncul Trafficking Atlit :
1. Para Pengurus Cabang Olahraga di Tingkat Kabupaten/Kota malas
melakukan pembibitan usia dini dan memilih membeli atlit yang sudah
Jadi.
2. Para Pengurus Cabang Olahraga di Tingkat Kabupaten/Kota yang
terpenting ialah mendapatkan komisi dari Trafficking Atlit, misalnya
pembelian Atlit dari Papua untuk membela Kabupaten/Kota pada event Pekan
Olahraga Daerah, 1 orang atlet 150 juta, biasanya pengurus mendapatkan
komisi 30%-nya.
3. Para Pengurus Cabang di Kabupaten / Kota mendapatkan keuntungan
dengan mengirimkan Atlit pada pertandingan Usia Dini di tingkat
Provinsi, dimana sesungguhnya mereka tidak mengirim atlit sama sekali,
namun tetap memberikan laporan palsu seolah-olah mengirimkan atlit, dan
dana yang mereka terima dari KONI Kabupaten digunakan untuk kepentingan
pribadi.
4. Para Pengurus Cabang di Kabupaten / Kota biasanya juga termasuk KONI
kabupaten / kota biasanya akan melengserkan pelatih atau pimpinan cabang
olahraga yang menyukai pembinaan usia dini karena mereka akan terganggu
income-nya.
5. Di setiap Kabupaten / Kota banyak sekali orang yang berprofesi
sebagai Calo Proposal Olahraga, mereka ini pengurus olahraga di semua
cabang olahraga Sepak Bola, Kadang di Dayung , Kadang di Atletik, mereka
ini pintar bernegoisasi, menggunakan kekuatan premanisme dan biasanya
memiliki kedekatan dengan pemimpin daerah, dan mereka dengan manisnya
menipu pemimpin daerah dengan memberikan laporan palsu bahwa mereka
telah melakukan pembinaan usia dini bagi calon atlit daerah. Padahal
pekerjaan mereka ialah membuat proposal permohonan untuk mengirim atlit
usia dini ke event-event tingkat provinsi dan laporan palsu, kemudian
dananya digunakan untuk kepentingan pribadi.
Dan lucunya malah ada di salah satu Kabupaten yang memiliki mantan Atlit
peraih mendali emas PON, Emas di Sea Games, dan Perunggu di Asian Games
hanya di cabut status kepelatihannya dan tidak dijadikan pelatih Cabang
Olahraga Setempat.
Hanya di Indonesia pernah terjadi Kabupaten/Kota membeli atlitnya
sendiri yang pindah ke daerah lain karena potensinya tidak dianggap di
daerah asalnya. Ceritanya begini, ketika ada salah satu atlit Potensial
mau direkomendasikan pelatihnya untuk diikut sertakan dalam event-event
tingkat provinsi yang dibiayai Kabupaten/Kota, ternyata seluruh
pengurus menolaknya dengan alasan masih memiliki Atlit Utama, dengan
terpaksa Pelatihnya mengirim ke Daerah lain yang mau mendidiknya,
setelah Daerah lain yang membina Atlit tersebut mulai mendapatkan
manfaat atas atlit tersebut, kabupaten / Kota asal atlit tersebut ingin
menariknya kembali. Setelah negoisasi disepakati sejumlah dana untuk
menarik Atlit tersebut ke Kabupaten / Kota asalnya.
Solusi :
1. Membersihkan pengurus KONI Kabupaten / Kota dari orang yang tidak mencintai dan tidak memiliki idealisme olahraga
2. Membersihkan pengurus cabang yang koruptif mengganti dengan yang baru.
3. Adanya Pengawasan melekat atas laporan-laporan yang diterima KONI.
4. Adanya Evaluasi Bulanan dan Tahun yang memantau pembibitan olahraga.
5. KONI membuat Standar Operating Procedure yang disepakati bersama.
Hal ini mudah dilakukan karena biasanya pengurus Cabang masih dipegang
pejabat pemda setempat, sehingga tekanan kepala daerah agar pengurus
cabang mengelola sesuai kode etik dan SOP dapat berjalan dengan
semestinya.
Bila 5 hal tersebut dijalankan maka, biaya yang dikeluarkan
Kabupaten/Kota untuk Trafficking Atlit akan berkurang dan dapat
digunakan untuk hal-hal yang lain, misalnya untuk kesejahteraan para
atlit dan Pelatih. Karena paling sulit setelah PORDA ialah
mempertahankan kondisi Atlit untuk tetap terjaga dan terus mengikuti
kompetisi lanjutannya bukan hanya sekedar PORDA, namun atlit itu harus
dapat lulus seleksi Provinsi untuk mengikuti PON , Sea Games dan Asian
Games.
Pada titik ini para pemimpin daerah terutama Pimpinan Kabupaten dan
Kota merasa cukup dan tidak melanjutkan bimbingannya pada atlit-atlit
ini sampai tingkat yang lebih tinggi. Karena kadang hasil PORDA sudah
cukup untuk Kepentingan Pemilu para Pimpinan kabupaten dan Kota.
Saya himbau pada pa Bupati dan Walikota untuk lebih memperhatikan
atlitnya agar tidak disalah gunakan dana Pemerintah Daerah untuk
kepentingan para Calo Olahraga dan Pimpinan Pengurus Cabang dan Koni
yang tidak kompeten. Karena jelas lebih hemat membina, sebagai contoh
salah satu cerita di Kabupaten, untuk membeli 1 regu atlit suatu cabang
terdiri dari 6 orang diperlukan biaya 1,2 Milyar, Untuk menghentikan
hal ini sang pelatih menjamin 8 emas dengan grup binaan sendiri.
Hasilnya Juara umum dengan 8 emas tanpa biaya sepeserpun pemda hanya
diganti seluruh tim olahraga masuk kerja di BUMD pemerintah. Berarti
kalau Pemda Ikhlas menyerahkan 600 juta saja ke tim ini untuk pembinaan
selama 4 tahun lebih baik hasilnya ketimbang membeli.
Untuk para Bupati dan Walikota , ingatlah kata-kata ini : “Membina lebih baik daripada Membeli”
Salam Olahraga
Sumber : http://olahraga.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar