Liputan6.com, Jakarta: Kualitas buku
pelajaran sekolah makin memprihatinkan. Ternyata sejak di sekolah dasar,
anak-anak telah disuguhkan cerita dan gambar mengenai kekerasan,
kawin-cerai, istri simpanan, hingga balas dendam. Di sekolah menangah
atas, ajaran komunisme terselip di salah satu buku kewarganegaraan.
Cerita
tentang premanisme dapat dijumpai di buku kelas satu sekolah dasar
lewat cerita rakyat, Angkri Si Jagoan. Dalam buku mengajarkan premanisme
yang penuh gambar berisi kekerasan mulai gambar golok, orang
bertengkar, hingga wanita yang diancam senjata tajam.Naik kelas dua, siswa belajar kisah Bang Maman dari Kali Pasir. Cerita yang berisi soal istri simpanan hingga kawin cerai. Intrik dari cerita sinetron orang dewasa telah menjadi bacaan bocah yang belum seharusnya mengetahui getir serta kerasnya hidup.
Di buku kelas tiga, kekerasan tergambar jelas melalui pembantu yang tengah disiksa majikannya, nyonya Van Der Plog. Kata-kata seperti menusuk-nusuk, membakar dengan minyak tanah disajikan secara jelas.
Naik ke kelas empat, kembali disajikan cerita tidak sehat untuk anak, Si Juragan Boing. Sang juragan naksir Julaeha, anak dari pembantunya dan berniat menjadikannya sebagai istri kedua. Seakan memberi contoh, khayalan Si Juragan tentang kecantikan Juleha juga disajikan.
Di kelas lima ada kisah Murtado Macan Kemayoran. Murtado disebut sebagai orang kejam suka menggoda dan melecehkan perempuan. Tergambar jelas bagaimana melakukan perbuatan tidak senonoh pada teman wanitanya hingga kisah tertangkap basah saat membopong wanita.
Yang lebih menyedihkan lagi dalam buku-buku itu, para siswa SD diminta bermain drama lengkap dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang siswa.
Perlakuan sesuai umur siswa memang menjadi penting. Namun kita lihat di buku tingkat SMA. Bukan soal umur ttetapi di buku lembar kerja siswa terselip ideologi komunis yang telah lama dilarang di Indonesia.
Setelah ramai diberitakan media, masyarakat di Sukabumi, Jawa Barat, marah dan berunjuk rasa yang sempat bentrok dengan polisi. Pihak penerbit mengakui kekeliruan dan menarik semua buku yang sempat beredar di Sukabumi.
Pengawasan tampaknya harus lebih ditingkatkan lagi tetapi orang tua sebagai benteng terakhir pendidikan anak harus lebih aktif lagi. Dengan demikian kasus horor di buku pelajaran sekolah tidak terulang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar