Apabila sebuah kota bisa dianggap panggung sandiwara, Jakarta pastilah
salah satu teater terbaik yang mementaskan absurditas. Kota ini
menyediakan tempat bagi segala hal yang tidak masuk akal.
Absurd
berarti aneh, konyol, irasional, tidak beralasan, juga tidak bermakna.
Segala hal yang absurd terkesan sia-sia belaka, seperti Sisyphus dalam
mitos Yunani yang menjalani hukuman seumur hidup dengan mendorong batu
ke atas gunung — hanya untuk melihatnya menggelinding turun kembali.
Kita
semua menjadi aktornya. Ragam umur dan ragam profesi di tempat yang
sama, di waktu yang selalu berjalan. Jumlah episode tak terkira, alur
cerita tidak terduga. Kadang begitu datar, tetapi tak jarang bikin
tegang. Kita tidak mengerti genre apakah ini; bisa tentang cinta,
misteri, bahkan komedi. Tragicomedy. Tidak ada yang lebih lucu daripada
ketidakbahagiaan, ungkap Samual Beckett.
Dalam drama ini,
kematian bisa tidak terduga. Kita tidak tahu apakah bila pagi hari kita
bermain bola, sorenya kita masih menjadi bagian cerita. Kita tidak tahu
apakah bila sedang hujan deras, kita akan tertimpa pohon besar yang
jatuh tertiup angin. Dan kita tidak tahu tepatnya apakah kita menjadi
sekadar figuran yang tidak punya arti apa-apa bagi alur cerita.
Sering
kali kita bosan dan memilih bertukar peran. Pemimpin agama bisa menjadi
polisi. Polisi bisa menjadi pemalak. Pebisnis bisa menjadi politisi,
begitu pula politisi bisa menjadi pebisnis. Artis sinetron bisa menjadi
pemerintah, sebaliknya kita juga dapat melihat pemerintah menjadi artis
ibukota, dengan muka close-up yang tersebar di sudut-sudut kota.
Berputar-putarlah
di jalanan Jakarta. Adegan-adegan absurd mudah ditemukan. Trotoar yang
menjadi jalan raya bagi para pengendara motor. Tiga mal yang berada
dalam radius satu kilometer. Halte bus yang tidak terurus. Lampu
lalu-lintas yang gagal mengatur pengguna jalan. Dan lainnya.
Tidak
ada sutradara, kota ini kota autopilot. Aturan dibuat untuk dilanggar,
termasuk oleh pembuat aturannya sendiri. Masalah di kota malah menjadi
kebiasaan sehari-hari hingga akhirnya menjadi rutin dan normal.
Jakarta yang tidak macet, maka dari itu, adalah Jakarta yang tidak normal.
Jika
manusia seharusnya berusaha bersahabat dengan alam, tidak demikian
halnya di Jakarta. Ruang hijau yang memberikan napas bagi masyarakat
terus-menerus dipangkas. Dalam kurun waktu 80 tahun terakhir Jakarta
justru kehilangan 85 persen taman. Curah hujan yang tinggi membuat kota
ini kelabakan mencegah banjir, padahal masyarakat di dalamnya kekurangan
air bersih.
Di gang-gang sempit di Pademangan Timur bahkan dijual air termahal di dunia seharga Rp 37-75 ribu rupiah per meter kubik.
Jakarta
memang begitu absurd. Namun, ia tetaplah memberikan ruang bagi
kehidupan. Daniel Ziv, dalam bukunya Jakarta Inside Out, menuliskan
“Jakarta adalah labirin kacau dengan kawasan-kawasan kumuh, gedung
pencakar langit yang berkilauan, dan jalan-jalan tol di sana-sini,
diselimuti awan polusi raksasa yang terjebak dalam kemandekan tanpa
harapan.”
“Sering kali adalah sebuah kejaiban bahwa tempat ini
dapat berdetak. Tetapi ia memang terus-menerus berdetak. Dengan sangat
gila. Jakarta adalah kota dalam krisis, tetapi ia juga menyediakan
kesempatan yang begitu besar. Jakarta adalah kota putus asa, yang juga
sebaliknya menyediakan harapan.”
Kita memang tidak akan pernah
tahu bagaimana drama ini akan berakhir. Peran kita sebagai aktor pun
begitu kecil, seperti menggaruk pasir di lautan yang kemudian akan
tersapu bersih oleh ombak. Namun, kehidupan di panggung absurditas ini
sebenarnya bukanlah tanpa arti.
Albert Camus berkata, segala
proses perjuangan cukup untuk mengisi hati seseorang. “Sisyphus adalah
seorang yang sangat bahagia,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar