Ilustrasi (grafis)
Jakarta (ANTARA
News) - Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia mengungkap, fenomena gunung
es bisa terjadi pada masyarakat dalam kemungkinan perkembangan penyakit
langka terkait kekebalan tubuh yaitu miastenia gravis (MG) di Indonesia.
"Kami mengibaratkan hal itu karena yang terlihat di atasnya saja, dan penyakit itu datang secara tiba-tiba," kata Ketua YMGI, Eko M Walid, usai seminar bertema "Hidup Berkualitas dan Produktif dengan myasthenia gravis" di Jakarta, Minggu.
MG merupakan penyakit dimana sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang organ-organ tubuh terutama pada sistem sambungan syaraf.
Eko memperkirakan, jumlah penderita MG yang terdaftar di Indonesia saat ini sebanyak 226 orang, namun diperkirakan jumlah penderitanya melebihi dari jumlah itu.
"Di Bandung, data yang kami peroleh baru sebanyak 35 orang, namun melalui pemeriksaan salah satu panitia jumlahnya cukup mencengangkan yakni melebihi 100 orang," ucap dia.
Pada seminar itu, ahli dari Departemen Psikiatri FKUI-RSCM, Natalia W Raharjanti, mengemukakan, MG ditandai kelemahan dan kelelahan cepat dari setiap otot yang digerakkan secara refleks.
"Penyebab MG adalah gangguan komunikasi normal syaraf dan otot. Pengobatan dapat membantu meringankan tanda dan gejala, seperti kelemahan otot lengan atau kaki, penglihatan ganda, kelopak mata terkulai, dan kesulitan berbicara, mengunyah, menelan dan bernapas," katanya.
Raharjanti menyatakan, keterlambatan penanganan penyakit MG akan mengakibatkan krisis miastenia. Ditandai dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian.
"Kasus ini dapat menyerang siapa saja, anak-anak, dewasa hingga usia lanjut. MG berkembang dari kelemahan ringan menjadi kelemahan berat, dari otot okular sampai pernafasan terutama dalam tiga tahun pertama," katanya.
Pada penderita MG, lanjut Natalia, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan syaraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari syaraf satu ke syaraf lainnya.
Ia memaparkan, salah satu obat MG yakni corticosteroid dan immunosuppressant, kortikosteroid prednisone dan immunosupresant, bisa digunakan untuk menekan reaksi tidak normal sistem kekebalan karena MG.
Pada kasus yang berat, kata dia, dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
"Apabila sudah ada perbaikan klinis, maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif," katanya.
Anggota YMGI, Hana L Gunawan, mengatakan, penderita MG tidak boleh merasa terlalu sedih maupun senang. Pihak keluarga pada awalnya tidak mengetahui ketika dirinya terkena MG.
"Kami mengibaratkan hal itu karena yang terlihat di atasnya saja, dan penyakit itu datang secara tiba-tiba," kata Ketua YMGI, Eko M Walid, usai seminar bertema "Hidup Berkualitas dan Produktif dengan myasthenia gravis" di Jakarta, Minggu.
MG merupakan penyakit dimana sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang organ-organ tubuh terutama pada sistem sambungan syaraf.
Eko memperkirakan, jumlah penderita MG yang terdaftar di Indonesia saat ini sebanyak 226 orang, namun diperkirakan jumlah penderitanya melebihi dari jumlah itu.
"Di Bandung, data yang kami peroleh baru sebanyak 35 orang, namun melalui pemeriksaan salah satu panitia jumlahnya cukup mencengangkan yakni melebihi 100 orang," ucap dia.
Pada seminar itu, ahli dari Departemen Psikiatri FKUI-RSCM, Natalia W Raharjanti, mengemukakan, MG ditandai kelemahan dan kelelahan cepat dari setiap otot yang digerakkan secara refleks.
"Penyebab MG adalah gangguan komunikasi normal syaraf dan otot. Pengobatan dapat membantu meringankan tanda dan gejala, seperti kelemahan otot lengan atau kaki, penglihatan ganda, kelopak mata terkulai, dan kesulitan berbicara, mengunyah, menelan dan bernapas," katanya.
Raharjanti menyatakan, keterlambatan penanganan penyakit MG akan mengakibatkan krisis miastenia. Ditandai dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian.
"Kasus ini dapat menyerang siapa saja, anak-anak, dewasa hingga usia lanjut. MG berkembang dari kelemahan ringan menjadi kelemahan berat, dari otot okular sampai pernafasan terutama dalam tiga tahun pertama," katanya.
Pada penderita MG, lanjut Natalia, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan syaraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari syaraf satu ke syaraf lainnya.
Ia memaparkan, salah satu obat MG yakni corticosteroid dan immunosuppressant, kortikosteroid prednisone dan immunosupresant, bisa digunakan untuk menekan reaksi tidak normal sistem kekebalan karena MG.
Pada kasus yang berat, kata dia, dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
"Apabila sudah ada perbaikan klinis, maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif," katanya.
Anggota YMGI, Hana L Gunawan, mengatakan, penderita MG tidak boleh merasa terlalu sedih maupun senang. Pihak keluarga pada awalnya tidak mengetahui ketika dirinya terkena MG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar