Sabtu, 21 April 2012

Korupsi Ruang Publik di Sekitar Kita

Foto: Robin Hartanto

Penguasaan lahan publik oleh suatu pihak tertentu sudah jadi pemandangan sehari-hari. Parahnya, kelakuan ini tidak mutlak milik pribadi atau swasta, tapi juga oleh institusi negara.

Di Jakarta, badan jalan — yang merupakan lahan publik — berubah jadi lahan parkir oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Jalan Trunojoyo, depan Mabes Polri




Rakyat tak kuasa, hanya bisa mengalah. Mereka pasrah jalan-jalan milik umum sudah dipatok, seperti terjadi pada zaman penjajahan. Tidak boleh dan tidak bisa melintas.

Perilaku di seputar kantor pemerintahan ini tampaknya ditiru dengan baik oleh masyarakat pemilik modal di kawasan tempat tinggal mewah, seperti di kawasan Kebayoran Baru.

Lazim kita temui, jalan-jalan di sekitar tempat tinggal pemilik modal besar dipagari dengan portal besi, seolah jalan umum itu adalah bagian dari pekarangan rumah. Mereka mudah saja melakukan itu, dan membayar satuan pengamanan untuk menjaga.

Jalanan di depan Kementrian Pekerjaan Umum, Jakarta Selatan.

Di lihat dari sisi ekonomi, jalan yang dikuasai itu berstatus barang publik. Artinya, Siapa pun berhak menggunakan, karena menjadi fasilitas bagi masyarakat umum. Jalan itu sebenarnya tidak gratis, karena dibayar oleh warga secara tidak langsung (melalui pajak).

Barang publik dikelola dan dikuasakan kepada pemerintah untuk mengelolanya. Sesuai kodratnya, sifat barang publik adalah “non excludable” atau tidak eksklusif. Tidak ada orang yang berhak menghalangi orang lain untuk menggunakan manfaatnya.

Karena itu, tidak ada pula yang boleh menguasainya untuk kepentingan sendiri.

Selain itu, sifatnya pun “non-rivalry” alias bisa dimanfaatkan secara bersama tanpa saling menghilangkan manfaat yang didapat masing-masing pengguna. Jika ada satu pihak memanfaatkan jalan itu — dan karenanya mengurangi manfaat yang diterima pihak lain (bahkan hilang) — maka secara ekonomi ini merupakan pelanggaran.

Bayangkan, betapa besarnya pemasukan negara seandainya lahan-lahan yang dikuasai secara sepihak itu harus disewa.

Karena itu, penguasaan jalan utama, bahu jalan, atau trotoar oleh suatu pihak — atau ironisnya kantor pemerintahan — tidak bisa dibenarkan. Barang publik kehilangan maknanya, karena sudah menjadi barang pribadi.

Negara harus memungut pajak atas lahan tersebut.

Pihak yang menguasai barang publik tanpa membayar pajak sungguh jahat. Mereka mengambil manfaat secara sepihak, padahal lahan publik dibiayai oleh masyarakat. Sungguh tragis pelanggaran seperti ini dibiarkan dan terjadi pula di sekitar kantor pemerintah.

Apa dasar tindakan Markas Besar Kepolisian RI mencaplok lahan umum? Mungkin saja Undang-Undang Jalan Tahun 2004 yang menyebutkan, penguasaan jalan ada pada negara dan dikuasakan kepada pemerintah.

Mungkin saja UU ini dipahami secara terang-terangan — karena dianggap menguasai, jadi berhak ada pematokan jalan.

Tetapi bukankah ada aturan hukum lain, misalnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Di situ disebutkan, definisi korupsi adalah perbuatan melawan hukum, bermaksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Kalau ini yang dijadikan landasan, bahu jalan dan trotoar di sekitar kantor pemerintah semacam Kementerian PU harus diselidiki. Sebab, fasilitas publik itu memberikan manfaat kepada pihak yang menyewakannya kepada para pedagang dan lahan parkir. Merugikan keuangan negara? Tentu.

Kemudian penutupan jalan dengan portal oleh swasta, tentu bisa juga masuk kategori korupsi seandainya mendapat restu dari institusi pemerintahan. Misalnya, mendapat pengamanan resmi dari kepolisian atau izin dari pemerintahan di tingkat paling kecil semacam kelurahan.

Inilah korupsi ruang publik yang secara nyata terjdi di depan mata, seolah ingin menyimbolkan betapa (tak) berkuasanya pemerintah dan betapa berkuasanya para pemilik modal besar di kawasan perumahan mewah.

Bahkan jatah rakyat pun dirampas. Mengenaskan.

Tidak ada komentar: