Aksi bunuh diri di tempat publik pernah menjadi semangat zaman di Negeri Sakura pada dekade akhir 1980-an. Pelakunya mayoritas remaja dan anak-anak, karena besarnya tekanan agar berprestasi.
Psikolog Universitas Indonesia (UI) Tika Bisono menjelaskan fenomena bunuh diri merupakan situasi yang akrab dengan mayarakat metropolitan. Pemicunya adalah tingginya tekanan dan beban hidup.
“Yang kita hadapi sekarang di Indonesia, seperti di Jepang pada periode 20-25 tahun lalu. Hanya saja penyebabnya berbeda,” ungkap dia saat berbincang dengan okezone di Jakarta, Selasa (1/12/2009).
Bunuh diri di tempat publik di Jepang dipicu kerena besarnya tekanan kepada anak-anak dan remaja agar berprestasi. Saat itu, Pemerintah Jepang mewajibkan warga negaranya agar bekerja lebih keras guna meningkatkan prestasi negara. Bagi orang dewasa, jam kerja dipatok hingga 16 jam per hari.
Sedangkan anak-anak dan remaja dituntut belajar lebih keras. Tak heran akhirnya Jepang menjadi negara maju. “Jadi ada tuntutan situasi kekeluargaan yang alamiah, yang nyaman, dan santai. Ini yang tak ada saat itu di Jepang,” ungkap dia.
Adapun di Indonesia aksi bunuh diri terjadi karena kurangnya perhatian terhadap anak dan remaja. Orang tua seringkali kurang memberikan perhatian terhadap anaknya. Jika ada pun, seringkali salah menerapkan. Sehingga keinginan orang tua dan anak tak bisa dipertemukan.
“Seringkali mereka (remaja dan anak-anak) tak punya pegangan ketika menghadapi masalah, karena orang tua dan kerabatnya kurang memberikan perhatian. Ibarat panjat tebing, pengaman utama adalah talinya, bukan instruktur yang berada di bawah,” ujarnya.
Tika menyayangkan mulai lunturnya nilai-nilai keluarga di masyarakat Indonesia. Keadaan ini muaranya berujung pada naiknya angka bunuh diri. Pasalnya, masa remaja merupakan masa kritis. Bila tidak dilalui dengan benar maka akan berakibat fatal. “Jangan sampai mereka (remaja dan anak-anak) merasa rumah tak nyaman, sekolah seperti neraka, dan terasing di lingkungan sekitar,” ujarnya.
Semboyan Ki Hajar Dewantoro, yaitu Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, dan Tutwuri handayani, menurut Tika, wajib dijadikan pegangan dalam memberikan tuntunan kepada anak dan remaja. “Tiga prinsip ini bahkan diterapkan di AS. Kenapa di negri sendiri malah diabaikan,” sesalnya. (okezene.com)
Psikolog Universitas Indonesia (UI) Tika Bisono menjelaskan fenomena bunuh diri merupakan situasi yang akrab dengan mayarakat metropolitan. Pemicunya adalah tingginya tekanan dan beban hidup.
“Yang kita hadapi sekarang di Indonesia, seperti di Jepang pada periode 20-25 tahun lalu. Hanya saja penyebabnya berbeda,” ungkap dia saat berbincang dengan okezone di Jakarta, Selasa (1/12/2009).
Bunuh diri di tempat publik di Jepang dipicu kerena besarnya tekanan kepada anak-anak dan remaja agar berprestasi. Saat itu, Pemerintah Jepang mewajibkan warga negaranya agar bekerja lebih keras guna meningkatkan prestasi negara. Bagi orang dewasa, jam kerja dipatok hingga 16 jam per hari.
Sedangkan anak-anak dan remaja dituntut belajar lebih keras. Tak heran akhirnya Jepang menjadi negara maju. “Jadi ada tuntutan situasi kekeluargaan yang alamiah, yang nyaman, dan santai. Ini yang tak ada saat itu di Jepang,” ungkap dia.
Adapun di Indonesia aksi bunuh diri terjadi karena kurangnya perhatian terhadap anak dan remaja. Orang tua seringkali kurang memberikan perhatian terhadap anaknya. Jika ada pun, seringkali salah menerapkan. Sehingga keinginan orang tua dan anak tak bisa dipertemukan.
“Seringkali mereka (remaja dan anak-anak) tak punya pegangan ketika menghadapi masalah, karena orang tua dan kerabatnya kurang memberikan perhatian. Ibarat panjat tebing, pengaman utama adalah talinya, bukan instruktur yang berada di bawah,” ujarnya.
Tika menyayangkan mulai lunturnya nilai-nilai keluarga di masyarakat Indonesia. Keadaan ini muaranya berujung pada naiknya angka bunuh diri. Pasalnya, masa remaja merupakan masa kritis. Bila tidak dilalui dengan benar maka akan berakibat fatal. “Jangan sampai mereka (remaja dan anak-anak) merasa rumah tak nyaman, sekolah seperti neraka, dan terasing di lingkungan sekitar,” ujarnya.
Semboyan Ki Hajar Dewantoro, yaitu Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, dan Tutwuri handayani, menurut Tika, wajib dijadikan pegangan dalam memberikan tuntunan kepada anak dan remaja. “Tiga prinsip ini bahkan diterapkan di AS. Kenapa di negri sendiri malah diabaikan,” sesalnya. (okezene.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar