Jumat, 11 Desember 2009

Buku Panduan Untuk Para Skeptis

Dalam pandangan saya, manusia itu hidupnya sering terancam oleh sifat malas berfikir meski sudah dianugerahi otak oleh Tuhan. Seringkali kemalasan itu ditunjang pula oleh sifat rendah diri dan sifat mudah percaya secara ‘berjamaah’, alias mudah percaya hanya karena orang lain percaya, tanpa ada keinginan untuk membuktikannya.

Coba lihat wujud kemalasan berpikir itu di sekeliling kita. Bahkan ketika zaman katanya sudah tak berbatas dan semakin canggih, berkat teknologi internet, orang justru semakin malas berfikir. Pernahkah anda dengan mudah meneruskan atau memforward email yang berkisah tentang nasib buruk yang akan menimpa anda kalau tidak meneruskan email ini kepada 5 orang lain, atau email tentang ketimun yang saat dibelah membentuk tulisan Allah, atau roti bakar yang gosongnya mirip gambar wajah Yesus dan semacamnya, tanpa ada upaya untuk mencari tahu kebenaran isi email itu?

Dan kalau anda pikir hanya orang biasa seperti kita yang mudah tertipu, anda salah besar. Seorang pengusaha Indonesia bisa percaya oleh salah satu bentuk penipuan paling kuno di internet yang dikenal dengan Nigerian Scam[1]. Ada pula seorang Presiden berpendidikan tinggi bisa percaya begitu saja pada orang yang katanya sanggup menciptakan bahan bakar dari air[2]. Lebih parah lagi, ada pemimpin sejumlah negara adidaya yang bisa percaya begitu saja pada laporan bahwa ada negara lain yang memiliki senjata pemusnah massal, dan setelah negara yang jadi sasaran tuduhan itu digempur dengan pengorbanan materi dan nyawa yang tak terhitung, senjata itu terbukti tidak ada.

Dalam sejarahnya, manusia ternyata memang memiliki kemampuan luar biasa untuk ditipu dan juga untuk menipu namun ada obat untuk membantu menghindarinya, yaitu sikap skeptis. Nah kalau kalimat terakhir tadi, bukan saya yang menulis. Saya hanya mengutipnya dari apa yang ingin disampaikan oleh Richard Wilson[3] dalam bukunya“Don’t Get Fooled Again: A Sceptic’s Handbook”[4], sebuah buku yang seperti judulnya menunjukkan pentingnya untuk selalu bersikap skeptis pada berbagai macam hal karena sifat manusia yang mudah tertipu dan menipu itu.

Richard melihat aksi penipuan itu dalam sejumlah kategori, seperti misalnya:

  • Pseudo News alias berita palsu. Contoh paling menarik dan tragis adalah berita yang dimuat sebuah surat kabar besar di Amerika di tahun 1990 tentang pengakuan seorang juru rawat Kuwait[5] bahwa pasukan Irak menelantarkan bayi-bayi di tempatnya bekerja dengan cara mengeluarkan bayi-bayi malang itu dari inkubator dan membiarkan mereka tergeletak di lantai. Pengakuan ini memicu aksi militer besar-besaran ke Kuwait. Belakangan terbukti bahwa juru rawat itu adalah keluarga kerajaan Kuwait dan berita itu adalah rekaan sebauh perusahaan humas atau PR besar yang disewa kerajaan Kuwait. Oya, perusahaan humas[6] yang sama itu ternyata pernah disewa pemerintah Indonesia di jaman Suharto, terkait masalah Timor-timur.
  • Pseudo Science alias ilmu pengetahuan palsu. Ada banyak contoh yang ditampilkan. Salah satunya adalah tentang kampanye besar-besaran para produsen rokok dunia yang mengaku punya bukti ‘ilmiah’ yang membantah teori bahwa rokok merusak kesehatan. Bahkan ada juga cerita tentang bagaimana Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki dibuat percaya oleh temuan ilmiah yang membuktikan bahwa virus HIV bukanlah penyebab AIDS. [7]
  • Teori-teori Konspirasi. Kalau anda termasuk penggemar teori konspirasi, anda harus baca buku ini untuk melihat bagaimana cara membuktikan kebenaran (atau ketidakbenaran) teori-teori yang nampak meyakinkan itu. Salah satunya adalah soal penenggelaman kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace di Selandia Baru[8]atau tentang kasus 11 September di New York.

Tidak ada yang baru sebenarnya dari buku ini. Pada dasarnya ia mengajari kita untuk tidak mudah percaya begitu saja mengenai segala sesuatu hal dan bagaimana kita bisa membuktikannya, demi kepentingan kita sendiri. Bukankah ini sesuatu hal yang harus dilakukan sebagai manusia yang mampu berfikir?

Berbagai kasus yang disajikan Richard dalam buku itu membuktikan bahwa ternyata kita sudah banyak bersikap “take for granted” terhadap berbagai hal, dan itu ternyata bisa berakibat fatal. Karena itulah, katanya, sikap skeptis itu diperlukan.

Oya, buku ini juga cocok buat para penggerutu seperti saya, karena membantu mengingatkan bahwa bersikap skeptis itu tipis batasannya dengan sikap sinis ataunyinyir. Keduanya memang sifat yang tidak mudah percaya pada berbagai hal. Namun sinis, kata Richard, selalu berasumsi buruk tentang segala sesuatu hal, sementara orang yang skeptis, selalu berusaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin asumsi.

Nah, apakah anda mau menjadi seorang skeptis, sinis atau masa bodoh. Pilihan tetap anda pada diri anda.

Selamat melanjutkan hidup, kawan..

sumber: anotherfool.wordpress.com

Tidak ada komentar: