Fupei, Gunakan Bahasa Daerah, Hemat Anggaran Negara
TUNJUKKAN FUPEI: Sanny Gaddafi, web developer dari situs pertemanan Fupei, saat menunjukkan salah satu tampilan Fupei dalam bentuk mobile
Keberadaan Fupei memang belum setenar Facebook atau Twitter. Namun, mengandalkan konten yang lebih meng-Indonesia, termasuk penggunaan bahasa lokal beberapa daerah, member situs pertemanan yang dirintis Sanny Gaddafi ini terus berkembang. Seperti apa?
Sosok Sanny Gaddafi tak ubahnya pemuda lain. Gaya busana gaul lengkap dengan sepatu sneakers di kaki. Fisik Sanny juga terawat karena fitness rutin yang dijalani. Ciri lain pria kelahiran Bekasi, 25 Agustus, 29 tahun lalu ini adalah laptop 12 inci yang setia dibawanya. Ya, untuk mengembangkan Fupei (www.fupei.com), Sanny cukup melakukannya dengan perangkat komputer yang bisa ditenteng itu.
‘’Fupei tidak punya kantor. Asalkan ada koneksi internet, setiap hari saya bisa memantau Fupei di mana saja,” ujar Sanny, pengembang situs Fupei saat ditemui JPNN di sebuah pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat. Bersama temannya, Fu Marlin
da Yumin, Sanny mengembangkan Fupei sejak 2004. Sanny yang berlatar pendidikan IT, bertugas sebagai web developer, sementara Linda yang memiliki latar dari finance, mengurus keuangannya.
Menceritakan ikhwal ketertarikan Sanny pada situs pertemanan, seperti halnya remaja lain. Itu terjadi saat Sanny masih mengenyam bangku kuliah di Kampus Universitas Bina Nusantara Jakarta. Ketika itu, situs pertemanan Friendster (FS) begitu populer di kalangan mahasiswa. Jika ada mahasiswa menggunakan internet, salah satu yang dibuka pasti FS. “Waktu itu booming banget, nggak normal, karena yang akses internet tidak sebanyak sekarang,” ujarnya dengan nada penasaran.
Ketertarikan Sanny adalah pada cara FS merangkul para member (anggota). Cukup dengan saling berbalas testimoni, para anggota bisa saling berkomunikasi dengan teman baru ataupun lama. Adalah komunikasinya dengan Linda, teman FS Sanny saat itu, yang akhirnya memutuskan untuk mencoba membuat situs pertemanan sendiri.
‘’Pas dibuat, ternyata cuma gitu doang,” ujar Sanny mengilustrasikan betapa mudah cara pembuatan web-nya. Pada Mei 2004, Sanny bersama Linda memperkenalkan Fupei kepada teman-teman mahasiswanya. Iklan dari mulut ke mulut itu pun akhirnya menjadikan jumlah Fupeis (sebutan untuk member Fupei, red) berkembang. “Waktu itu konsep masih mirip sama FS. Ternyata responsnya bagus,” ujarnya.
Disebut Fupei karena situs itu untuk pertemanan khusus orang Indonesia. Simak saja kepanjangannya: Friends Uniting Program Especially Indonesian. Slogan yang dimiliki Fupei pun sangat sederhana: without friends, we’re nothing (tanpa teman, kita bukan siapa-siapa, red). “Karena memang tanpa member, Fupei tidak akan menjadi apa-apa,” jelasnya.
Setiap waktu Fupei terus berkembang. Seperti halnya situs pertemanan, Fupei juga memiliki fitur status, forum, album foto, musik, video, blog, ataupun game. Karena situs ini dibuat asli Indonesia, pengembangan yang dilakukan pun memasukkan konten lokal yang tidak dimiliki situs pertemanan lain. “Yang paling terasa adalah bahasa daerah. Ada lima bahasa daerah yang sudah masuk di Fupei,” ujarnya bangga.
Lima bahasa daerah yang sudah dikembangkan adalah bahasa Jawa, Betawi, Sunda, Minang, dan Bugis. Sanny bertutur, keberadaan lima bahasa itu tidak akan terjadi tanpa bantuan Fupeis. Untuk satu bahasa daerah yang dikembangkan, paling tidak ada 10 member yang membantu Sanny.
Misalnya, untuk mengganti satu kata bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa, perlu perdebatan antar-Fupeis. Menurut Sanny, ada ribuan kata yang dimasukkan para Fupeis. Contohnya untuk kata “Anda, ada member yang menyodorkan kata “kowe’’, “sampeyan’’, dan sebagainya. Demikian juga untuk bahasa Betawi. Ada yang menyodorkan “lu’, atau “ente” sebagai pengantar.
‘’Usul itu yang dimasukkan para member, terus dicoba. Mana yang banyak setuju akhirnya dipakai,” jelasnya. Karena menganut konsep web 2.0, setiap member dan developer bisa berkomunikasi mengembangkan Fupei dengan interaksi dua arah. Menurut Sanny, pengembangan konten bahasa daerah hingga kini masih dilanjutkan. Bahasa daerah yang masih dikembangkan adalah bahasa Papua dan Palembang.
Interaksi antara developer dan member seperti ini jarang terjadi pada situs pertemanan lain. Menurut Sanny, tanpa dibayar sepeser pun, para Fupeis terus membantu mengembangkan Fupei. Apalagi, pertemanan yang dilakukan para member tidak hanya dilakukan di dunia maya. Pertemanan itu juga dilanjutkan dengan pertemuan antar-Fupeis. “Kalau Fupeis gathering (berkumpul), kami juga ikut. Tidak sebagai developer, tapi sebagai member biasa,” jelasnya.
Selama lebih dari lima tahun dikembangkan, banyak pula cerita mewarnai Fupei. Menurut Sanny, ada sejumlah Fupeis yang akhirnya berjodoh dan menikah. Salah satu yang cukup spesial adalah seorang mahasiswa Indonesia di Belanda yang akhirnya berjodoh dengan mahasiswi Indonesia di Kanada. Mulai perkenalan, pernyataan saling suka, semua terekam dalam Fupei.
‘’Jadi, mereka bisa ketemu karena Fupei,” ujarnya bangga. Penghargaan terhadap Fupei dari member juga muncul. Dalam sebuah kesempatan, ada seorang member memasang foto, tengah menancapkan bendera Fupei di puncak Everest, Nepal.
Bila dibandingkan dengan situs pertemanan luar negeri, Sanny menyebut ada juga Fupeis yang kecewa dengan situs buatannya. Bukan karena fitur yang dimiliki kalah dengan situs luar negeri. Tapi, mereka kecewa setelah tahu bahwa Fupei adalah buatan anak negeri. “Pertama senang sama Fupei. Komentarnya positif. Begitu tahu situs lokal, ada yang kecewa dengan sejumlah alasan,” tuturnya.
Padahal, jika dilihat lebih luas, situs pertemanan Fupei bisa menghemat anggaran negara. Kata Sanny, boleh peduli atau tidak, negara harus membayar biaya yang tinggi, untuk setiap akses situs luar negeri. Sementara, server Fupei yang disewa Sanny dan Linda berlokasi di Jakarta. Dalam hal ini, negara bisa mengeluarkan biaya lebih sedikit untuk setiap akses situs lokal yang dijelajahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar