Senin, 11 Januari 2010

Berhentilah menjadi gelas


“usah menjangkakan masa depan,karena masa depan adalah milik TUHAN”. Hadapilah hari-hari mendatang dengan senyuman, segunung usaha serta tawakal, Ikhlaslah atas segala yang Allah berikan karena itulah yg terbaik….. ,senyumlah dengan nikmat Tuhan.”


Renungkanlah sebuah kisah ini dengan mendalam, semoga ada senyuman terukir selepas itu……

“Berhentilah menjadi gelas”

Seorang guru mendatangi seorang anak muridnya, ketika wajahnya belakangan ini selalu nampak murung dan bersedih. “Kenapa kau selalu bersedih, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah syukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah, sukar rasanya bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua gengam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”


Si murid pun beranjak, perlahan-lahan dengan lemah lunglai. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke dalam segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”

Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis dan berkerut kerana meminum air asin. “Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “asin dan perutku terasa loya dan mual”, jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru tersenyum terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis karena keasinan.

“Sekarang mari kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang ada di baki itu , dan tebarkan ke danau. Si murid menebarkan segengam garam yang ada di bakike danau, tanpa sepatah kata. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan Gurunya, begitu pikirnya. “Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat dipinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“segar, sungguh segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan belakang tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata sang Guru setelah muridnya selesai minum.
“Segala masalah dalam hidup itu seperti SEGENGGAM GARAM. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam.

“Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-gitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'hati' yang menampungnya. Jadi nak, supaya tidak merasa menderita, BERHENTILAH MENJADI GELAS. Jadikan hati      di dalam dadamu itu SEBESAR DANAU.”


Hidup memang memerlukan keberanian. Tapi, akan lebih memerlukan ketelitian. Cermati langkahmu, dan waspadai tindakanmu.

Hati-hati saat ‘mencelupkan jari’ dalam celah kehidupan. Kalau tidak ‘rasa pahit’ yang akan kita temukan.


Gie Alfonsin
Giealfonsin.blogspot.com

Tidak ada komentar: